Langsung ke konten utama

Hukum Informal; Jalan Tengah Problematika Internal Masisir


Oleh: Zidny Hudaya Ahmad

Pendahuluan

Kehidupan diaspora, yang dicirikan oleh adaptasi terhadap lingkungan asing, sering kali memunculkan kebutuhan akan sistem norma dan mekanisme penyelesaian masalah yang berakar pada nilai-nilai budaya dan sosial komunitas itu sendiri. Sistem ini, yang beroperasi di luar kerangka hukum formal negara tuan rumah, menjadi respons alami terhadap kebutuhan praktis dan sosial yang mungkin tidak sepenuhnya terakomodasi oleh sistem hukum yang ada.

Komunitas mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir) merupakan contoh nyata dari fenomena ini. Dr. Abdul Muta’alli, M.A., M.IP., Ph.D. ketika pelantikan SEMA-FU tahun ajaran 2024-2025 menyampaikan bahwa jumlah Masisir berjumlah sekitar 17.000 mahasiswa. Tentu dengan jumlah sebesar itu potensi konflik internal dan kebutuhan akan tata kelola sosial menjadi sangat relevan. Oleh karena itu, mekanisme penyelesaian sengketa informal yang terjadi di lingkungan Masisir menjadi krusial untuk menjaga kohesi dan ketertiban internal dalam komunitas tersebut. Selama ini, Masisir kerap melakukan penyelesaian masalah internal secara informal. Lantas, apakah sistem hukum informal mempunyai landasan teoretis yang kuat? Dan bagaimana implementasi hukum informal di kalangan Masisir?

Hukum Formal dan Informal serta Landasan Teoretis Hukum Informal

United Nation Development Program (UNDP) menjelaskan mekanisme formal atau formal justice system sebagai institusi peradilan negara dalam arti formal seperti polisi, jaksa, pengadilan dan advokat. Sedangkan mekanisme Informal atau informal justice system dijelaskan sebagai prosedur penyelesaian perselisihan di luar proses ajudikasi formal pengadilan negara contohnya seperti kepala desa dan tokoh agama.[1]

Dalam pendekatan sosiologi hukum, ia tidak hanya dipahami sebagai teks normatif dalam perundang-undangan, melainkan sebagai bagian dari kenyataan sosial yang hidup dalam masyarakat.[2] Hal ini selaras dengan pandangan Soerjono Soekanto bahwa sosiologi hukum adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dan gejala sosial secara empiris dan analitis. Satjipto Rahardjo menegaskan bahwa hukum harus dilihat dari konteks perilaku masyarakat dalam kehidupan sosialnya, bukan sekadar aturan tertulis.[3]

Dalam hal ini, norma dan aturan tidak tertulis yang berkembang dalam komunitas mahasiswa diaspora dapat dipahami sebagai bagian dari hukum informal, yaitu hukum yang hidup (living law) sebagaimana dikemukakan oleh Eugen Ehrlich, yaitu norma yang ditaati masyarakat meskipun tidak dikodifikasi secara resmi.[4]

Selain itu, Von Savigny dari mazhab sejarah juga menekankan bahwa hukum tumbuh dan berkembang bersama masyarakat (volksgeist), bukan semata-mata hasil produk negara.[5] Maka, sistem kekeluargaan, musyawarah, sanksi sosial, dan etika kolektif yang berlaku dalam komunitas mahasiswa Indonesia di luar negeri mencerminkan keberadaan hukum informal yang berfungsi nyata sebagai alat kontrol sosial. Fenomena ini juga mencerminkan pandangan Roscoe Pound bahwa hukum berperan sebagai social engineering, yakni sarana membentuk dan menjaga ketertiban sosial dalam suatu komunitas

Implementasi Hukum Informal dalam Penyelesaian Masalah Mahasiswa Indonesia di Mesir

Tingginya jumlah kasus di kalangan Masisir merupakan fakta yang tak terhindarkan. Data dari Dewan Keamanan & Ketertiban Mahasiswa (DKKM) mencatat bahwa terdapat 689 kasus pada periode 4 September 2023 - 30 Juni 2024. Kasus-kasus tersebut diklasifikasikan dalam beberapa kategori, meliputi kehilangan, kriminalitas, temuan, masalah rumah, moral dan etika, konflik internal, pelecehan seksual serta jenis kasus lainya. Namun masih banyak juga kasus internal Masisir yang tidak dilaporkan ke DKKM dan diselesaikan mandiri oleh pihak Kekeluargaan terkait atau pihak lainya.

PPMI memiliki dua entitas yang bertugas membantu menyelesaikan masalah yaitu DKKM dan Komisi Peduli Interaksi (KPI). DKKM berperan lebih aktif dalam penyelesaian isu internal maupun eksternal, sementara KPI secara spesifik berfokus pada kasus internal yang melibatkan interaksi antar Masisir.

Hasil wawancara dengan beberapa anggota Dewan Pengurus PPMI, Badan Perwakilan Anggota PPMI, dan Pengurus Kekeluargaan mengindikasikan bahwa sejumlah besar permasalahan internal antar Masisir diselesaikan melalui mediasi serta tanpa pelaporan kepada DKKM. Masisir cenderung melaporkan kepada pihak yang mereka yakini mampu menangani isu tersebut dan mudah diakses, baik itu DKKM, Kekeluargaan, maupun entitas lainnya untuk dilakukan mediasi daripada melapor kepada kepolisian.

Sanksi yang diberikan biasanya tidak bersifat hukum tertulis, meliputi teguran, klarifikasi terbuka, tanggung jawab sesuai kesepakatan dengan korban atau pencabutan kepercayaan dalam struktur organisasi. Beberapa kasus pelecehan atau pelanggaran moral dan etika yang dinilai parah acap kali ditindaklanjuti dengan seruan dan tekanan dari pihak kekeluargaan agar individu yang bersangkutan kembali ke Tanah Air. Hal ini tentu berbeda dengan proses deportasi resmi oleh negara Mesir.

Masisir masih sering memakai hukum informal meskipun pada kenyataanya hukum informal yang kerap dipakai itu lemah dalam eksekusi dan penegakan keputusan. Fleksibel,  penanganan lebih cepat serta efisiensi biaya menjadi alasan utama. Namun tidak menutup kemungkinan Masisir memilih jalur hukum formal guna menyelesaikan masalahnya.

Hukum formal lebih bisa memberantas masalah di Masisir?

Penyelesaian dengan mekanisme formal tentu berbeda dengan mekanisme informal. Jalur formal lebih mengikat, serta memiliki sanksi yang jelas dan terstruktur. Sehingga penyelesaian akan lebih adil dan jelas. Seperti masalah kekerasan yang terjadi antara pelajar Kelompok studi Walisongo dan Kerukunan Keluarga Sulawesi pasca Futsal Cordoba Cup Juli 2023. Walaupun sempat dilakukan mediasi dan musyawarah secara informal oleh KBRI, namun pada akhirnya kasus ini dibawa ke hukum Formal Pemerintahan Mesir. Imbasnya tiga mahasiswa dideportasi oleh pemerintah Mesir. Sanksi seperti ini jelas memberikan efek jera terhadap pelaku dan memberikan peringatan terhadap mahasiswa yang lainya agar berfikir jernih sebelum bertindak.

Mekanisme hukum formal menjamin penindakan tegas terhadap pelaku sesuai dengan undang-undang yang berlaku, serta penyelesaian kasus secara tuntas. Namun tak semua masalah bisa kita angkat ke pengadilan. Kebanyakan Masisir pun enggan berurusan dengan birokrasi yang rumit dan lambatnya respon kepolisian Mesir. Beberapa data yang mendukung kurang bagusnya birokrasi hukum formal di Mesir seperti Survei Arab Barometer (2021) mencatat bahwa hanya sekitar 38% warga Mesir yang menyatakan masih memiliki kepercayaan terhadap integritas lembaga kepolisian. Persepsi tentang adanya praktik korupsi, diskriminasi dalam penanganan kasus, serta ketidakefisienan birokrasi menjadi alasan utama publik memandang sistem hukum sebagai entitas yang tidak ramah terhadap pencari keadilan. Jika masyarakat setempat saja enggan melapor apalagi mahasiswa diaspora.

 

 

Kesimpulan

Sistem hukum yang dipakai oleh Masisir adalah informal, akan tetapi jika masalah yang terjadi terlampau signifikan maka akan diselesaikan melalui sistem hukum formal. Namun sistem hukum informal masisir masih perlu dibenahi melihat semakin banyaknya kasus yang terjadi belakangan ini. Semua Stakeholder memegang peranan penting dalam menangani kasus-kasus Masisir ini. PPMI, Universitas Al-Azhar dan KBRI adalah diantara yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan problematika yang tak kunjung selesai ini. Diantaranya para Stakeholder harusnya bisa memperkuat kedudukan DKKM atau KPI. Bahkan membuat suatu badan khusus berisi para mediator yang legal untuk menangani permasalahan hukum informal Masisir.

Masisir butuh seorang mediator mumpuni yang tahu dalam masalah advokasi, memiliki kemampuan dalam menganalisis masalah dan memberi solusi. Di Indonesia seorang mediator harus memiliki sertifikat lulus pelatihan mediator yang diadakan oleh Mahkamah Agung. Hal itu bisa saja diadopsi untuk menyelesaikan problematika ini. Harapanya dengan hanya adanya satu badan mediator legal ini semua permasalahan akan lebih teratur dan terdeteksi akar masalahnya karena melalui satu pintu. Dan memiliki data valid mana kasus yang berhasil terselesaikan dan tidak. Sehingga dari hasil data itu bisa menjadi bahan evaluasi bersama.

Daftar Pustaka

1.     Konsorsium Masyarakat Sipil untuk Indeks Akses terhadap Keadilan. Indeks Akses Terhadap Keadilan di Indonesia 2019. Jakarta: Konsorsium Masyarakat Sipil untuk Indeks Akses terhadap Keadilan, 2020

2.     Hendarso, Sosiologi Hukum: Modul 1, Universitas Terbuka, 2020.

3.     https://iblam.ac.id/2023/08/23/pengertian-mediator-dan-syarat-menjadi-mediator/

4.     https://eprints.walisongo.ac.id/2036/4/62211007_Bab3.pdf



[1] Konsorsium Masyarakat Sipil untuk Akses terhadap Keadilan, Indeks Akses Terhadap Keadilan di Indonesia 2019 (Jakarta: Konsorsium Masyarakat Sipil untuk Akses terhadap Keadilan, 2020), 28.

[2] Hendarso, Sosiologi Hukum: Modul 1, Universitas Terbuka, 2020, hlm. 1.6.

[3] Ibid,. 1.3.

[4] Ibid,. 1.5.

[5] Ibid,. 1.4.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 Prinsip Dasar Ilmu Tauhid

A. Al-Hadd: Definisi Ilmu Tauhid Ilmu Tauhid adalah ilmu pengetahuan yang bisa meneguhkan dan menguatkan keyakinan dalam beragama seorang hamba. Juga bisa dikatakan, ilmu Tauhid adalah ilmu pengetahuan yang membahas jalan dan metode yang bisa mengantarkan kita kepada keyakinan tersebut, melalui hujjah (argumentasi) untuk mempertahankannya. Dan juga ilmu tentang cara menjawab keraguan-keraguan yang digencarkan oleh musuh-musuh Islam dengan tujuan menghancurkan agama Islam itu sendiri. B. Maudhu’: Objek Pembahasan Ilmu Tauhid Ada beberapa pembahasan yang dijelaskan dalam ilmu ini, mulai dari pembahasan `maujud` (entitas, sesuatu yang ada), `ma’dum` (sesuatu yang tidak ada), sampai pembahasan tentang sesuatu yang bisa menguatkan keyakinan seorang muslim, melalui metode nadzori (rasionalitas) dan metode ilmi (mengetahui esensi ilmu tauhid), serta metode bagaimana caranya kita supaya mampu memberikan argumentasi untuk mempertahankan keyakinan tersebut. Ketika membahas ent...

10 Prinsip Dasar Ilmu Mantiq

 كل فن عشرة # الحد والموضوع ثم الثمرة ونسبة وفضله والواضع # والاسم الاستمداد حكم الشارع مسائل والبعض بالبعض اكتفى # ومن درى الجميع حاز الشرفا      Dalam memahami suatu permasalahan, terkadang kita mengalami kekeliruan/salah paham, karena pada tabiatnya akal manusia sangat terbatas dalam berpikir bahkan lemah dalam memahami esensi suatu permasalahan. Karena pola pikir manusia selamanya tidak berada pada jalur kebenaran. Oleh karena itu, manusia membutuhkan seperangkat alat yang bisa menjaga pola pikirnya dari kekeliruan dan kesalahpahaman, serta membantunya dalam mengoperasikan daya pikirnya sebaik mungkin. Alat tersebut dinamakan dengan ilmu Mantiq. Pada kesempatan ini, kami akan mencoba mengulas Mabadi ‘Asyaroh - 10 prinsip dasar -  ilmu Mantiq. A.  Takrif: Definisi Ilmu Mantiq      Ditinjau dari aspek pembahasannya, ilmu Mantiq adalah ilmu yang membahas tentang maklumat – pengetahuan - yang bersifat tashowwuri (deskriptif) da...

Apa Makna Sifat Wahdaniyah?

Sifat wahdaniyah merupakan salah satu sifat Salbiyah dari sifat-sifat wajib Allah. Sifat salbiyyah yaitu: هي الصفات التي تنفي عن الله ما لا يليق بذاته تعالى "Sifat-sifat yang menafikan dari Allah segala sifat yang tidak layak pada Dzat-Nya" Maka sifat wahdaniyah adalah sifat yang menafikan at-ta'ddud (berbilang-bilang), baik itu berbilang dalam dzat (at-ta'addud fî ad-dzât), berbilang dalam sifat (at-ta'addud fî ash-shifât) dan berbilang pada perbuatan (at-ta'addud fî al-af'âl). Adapun rinciannya sebagai berikut: 1.        Keesaan Dzat (Wahdah ad-Dzât) , ada dua macam: a.        Nafyu al-Kamm al-Muttashil (menafikan ketersusunan internal) Artinya, bahwa dzat Allah tidak tersusun dari partikel apapun, baik itu jauhar mutahayyiz, 'ardh ataupun jism. Dalil rasional: "Jikalau suatu dzat tersusun dari bagian-bagian, artinya dzat itu membutuhkan kepada dzat yang membentuknya. Sedangkan Allah mustahil membutuhkan p...